Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Bagaimana 9 Aprilmu?

Posting Komentar
Ini pengalamanku tanggal 9 lalu. Aku berangkat ke TPS tempat keluargaku terdaftar bersama mama. Waktu itu sudah hampir jam 10 pagi. Ternyata waktu itu sedang banyak-banyaknya warga antri untuk memilih.

Bisa dimaklumi, meskipun oleh pemerintah tanggal 9 April 2014 ditetapkan sebagai hari libur nasional, sebagian besar penduduk di desaku tetap pergi ke tempat kerja mereka, kebun karet. Rata-rata waktu kerja mereka dari selepas shalat subuh hingga jam 9 pagi, tergantung banyak pohon karet yang mereka sadap getahnya. Setelah itu baru mereka melakukan aktivitas lain, termasuk mencoblos pada hari rabu yang lalu.

Selama menunggu, aku mengamati keadaan di TPS. Orang-orang yang bekerja sebagai petugas rata-rata kukenal semua, bahkan ada di antara mereka yang termasuk keluarga jauhku. Yang paling menarik perhatianku adalah orang yang bertugas menjadi saksi setiap partai.

Lima tahun yang lalu, aku juga pernah berperan sebagai saksi. Lupa, dulu aku jadi saksi untuk partai yang mana ^^ Dulu itu aku jadi saksi hanya sebagai pelengkap. Karena nggak ada lagi yang bisa, akulah yang ditunjuk, kebetulan mama juga jadi salah seorang saksi waktu itu.

Bedanya dengan dulu, sekarang aku lebih melek politik. Beberapa bulan menjelang pileg ini aku termasuk orang yang mengikuti perkembangan media. Sehingga tahu sebenarnya apa fungsi dari seorang saksi. Saksi adalah orang yang “mengawasi” ketransparanan sebuah proses pemungutan suara di suatu TPS, itu yang bisa kusimpulkan. Setiap partai memiliki saksi di setiap TPS untuk menghindari kejadian-kejadian yang merugikan bagi partai tersebut.

Yang menjadi fokusku tentang saksi di desaku ini adalah bahwa setiap saksi seperti tidak sedang bekerja untuk partai yang mereka wakili. Mereka lebih seperti orang yang numpang duduk di tenda TPS. Mereka tidak mengawasi, bisa seperti itu kalau boleh kubilang. Mereka lebih tertarik dengan uang honor yang akan mereka kantongi setelah duduk seharian menggantung tali id card di leher mereka. Bukan suudhzon, karena aku tahu beberapa dari mereka bahkan simpatisan dari partai yang berbeda dari partai yang mereka wakili sebagai saksi. Entah bagaimana peran mereka saat proses perhitungan suara, karena aku tidak hadir saat itu. Terlepas dari itu, semoga tidak terjadi kecurangan di TPS tempatku mencoblos.

Fenomena lain yang berhasil kutangkap saat pencoblosan tanggal 9 April lalu adalah ketika tim dari partai X mampir di TPS kami untuk memberi bungkusan makan siang kepada saksi yang bertugas. Setelah tim partai tersebut berlalu, spontan si saksi yang menerima kiriman logistik diledek oleh semua petugas dan calon pemilih yang berada di sana. Ciyee, diperhatikan sekali. Bagi-bagi nasi bungkusnya dong. Semacam itulah. Mungkin orang yang dapat logistik juga nggak enak, mana bisa dia makan sendiri sedangkan orang-orang lain yang ada di sana, yang notabene teman dan saudaranya belum makan.

Kejadian lain yang lumayan menggelitik adalah kesusahan beberapa pemilih dalam melipat surat suara. Beberapa dari mereka nenek-nenek atau kakek-kakek, tapi juga tak jarang yang muda pun terlambat dalam proses lipat-melipat. Mamaku sendiri, menghabiskan banyak waktu untuk melipat 4 surat suara. Mungkin lebih banyak dari waktu yang digunakannya untuk mencoblos. Padahal ketika membuka kertas suara, aku bisa melihat dengan jelas, ada petunjuk cara melipatnya. Ya bedalah, kata mamaku, anak muda dengan orang tua. Aku tergelak.

Selain cara melipat, yang membuat pemilih lambat keluar dari bilik suara adalah proses memilih caleg untuk dicoblos. Beberapa penduduk mungkin saja ada yang buta aksara dan kebanyakan orang tua memiliki mata tak awas lagi. Mereka hanya mengandalkan foto, sedangkan ada beberapa surat suara yang hanya terpampang nama. Penyebab lainnya mungkin juga karena tidak kenal dengan nama semua caleg yang tertera. Aku sendiri hanya mencoblos gambar partai pilihanku pada dua surat suara, karena minimnya pengetahuanku tentang setiap caleg.

Yang paling sering menjadi bulan-bulanan tertawaan di TPSku adalah warga yang salah memilih jalan keluar. Beberapa pemilih dengan santainya keluar melewati pintu masuk setelah menyerahkan surat untuk dimasukkan ke kotak suara. Padahal kan jalan keluar sudah diberi tanda dan sepaket dengan pencelupan jari kelingking kiri.

Secara keseluruhan hasil pengamatanku mengatakan bahwa proses pemilihan suara di desaku cukup lancar meski dengan TPS sederhana. Selain itu TPS juga berhasil menjadi ajang berkumpul sementara penduduk desa yang jarang bersua, aku misalnya. Tak jarang ada  penduduk yang menanyakan bagaimana kuliahku, sudah semester berapa, kapan lulus. Pertanyaan terakhir bikin nyesek =D


Nah, itu ceritaku tentang 9 April. Bagaimana dengan 9 Aprilmu?
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar