Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Pengobatan Benjolan di Leher (2)

2 komentar
Baca cerita sebelumnya di Pengobatan Benjolan di Leher

Rabu, 16 Nopember 2016 aku kembali mengunjungi Dokter Priha. Kali ini berangkat dari kantor jam 10 setelah mengerjakan beberapa pekerjaan di lab. Aku menuju ke loket BPJS untuk mengambil nomor antrian. Eh, ternyata tak perlu antri lagi karena semua sudah dilayani. Jadi surat rujukanku langsung diproses. Antri di loket pendaftaran sudah nomor 100 sekian, tapi yang antri hanya tinggal 2-3 orang jadi tidak menunggu terlalu lama. Lalu aku menuju ke poli bedah dengan nomor antrian 26 dan mendapati sudah banyak pasien yang menunggu dan belum ada yang dipanggil satu pun. Dokternya ada operasi begitu kata orang-orang.

Sekitar jam 12 siang, baru pasien pertama yang dipanggil. Alamat bakal lama nih, desisku dalam hati. Namun, mengingat kondisi dokter yang juga pasti masih capek sehabis melakukan operasi dan langsung disuguhi pasien rawat jalan sepertiku, aku tak jadi hendak kesal. Menunggu dengan sabar. Hanya saja grasak-grusuk ibu-ibu di sampingku membuatku sedikit tidak nyaman. Aku malas bicara dan hanya membaca novel via wattpad. Akhirnya namaku dipanggil sekitar jam 2 siang. Seperti biasa, kalau berobat ke rumah sakit rasanya tak afdal kalau tidak menunggu minimal 4 jam untuk mendapatkan pelayanan dokter.

Konsultasi dimulai. Dokter memegang benjolanku, kata beliau tidak banyak berkurang. Apakah masih belum yakin untuk dibedah, aku mengangguk. Aku sudah bicara dengan suami tapi ia menyarankan kalau bisa tidak perlu dibedah.  Jadi aku tidak mengiyakan tawaran bedah ini. Dokter Priha menduga dari gejala yang terlihat, penyakitku adalah infeksi TB kelenjar. Paru-paruku memang sehat, tapi letak benjolan di sebelah kanan leher dan imunnya ia dari antibiotik biasa menguatkan hipotesis kalau ini memang infeksi dari kuman TB.

Apa yang terjadi seandainya tidak dibedah dan diobati tanyaku, dokter menjawab bakteri tersebut akan menggerogoti tubuhku dan membuatku tidak mendapatkan cukup nutrisi. Pantas saja tubuhku kurus, pikirku. Berat badanku tak pernah lebih dari 41 kg. Lagipula sejak kuliah dulu aku memang mudah lelah. Meski aku tidak tahu kapan persisnya aku mulai terinfeksi bakteri TB ini.

Tak ingin ada yang mengganjal aku bertanya lagi, apa efek samping atau risiko yang mungkin terjadi pasca pembedahan. Dokter menjawab, rasa nyeri di bekas jahitan dan mual akibat obat bius. Meski sebelumnya aku sudah pernah mencari tahu, efek samping lainnya yang cukup berbahaya setelah pembedahan adalah menyebarnya bakteri ke jaringan lain di dalam tubuh. Entah informasi tersebut akurat atau tidak.

Jadi hari itu aku dikasih obat yang sama dengan sebelumnya. Hanya dosis satu obat diturunkan menjadi satu kali sehari. Sepulang dari rumah sakit aku searching mengenai infeksi TB kelenjar, ternyata beberapa orang pernah mengalami dan berbagi di blog mereka. Nama lain penyakit ini adalah scrofula. Untuk mengidentifikasi bakterinya memang harus dibedah atau biopsi dan minum obat selama 6 bulan penuh. Sebagian besar dari mereka berhasil sembuh. Oya, aku menemukan satu artikel tentang biopsi aspirasi jarum halus yaitu teknik pengambilan sampel massa (benjolan) dengan cara disedot menggunakan jarum kecil semacam suntikan. Jadi benjolan tidak perlu dibedah, semoga di rumah sakit kotaku ada metode seperti, doaku. Aku berniat untuk menanyakannya ketika jadwal konsul selanjutnya.

Hari Rabu berikutnya tanggal 23 Nopember, seharusnya aku ke RS lagi untuk konsul. Tapi kerjaan di lab lagi banyak-banyaknya dan kotaku sedang banjir. Akses menuju RS digenangi air cukup dalam. Hal itu kuketahui ketika pulang pada hari Selasa sebelumnya. Sedangkan pada hari Rabu itu aku menuju kantor dari rumah lewat jalan alternatif yang juga ternyata banjir namun tidak separah jalan utama.


Kamis 24 Nopember, aku mendatangi rumah sakit lagi. Dapat antrian 98 di loket BPJS. Waktu itu memang sudah sekitar jam 10.30. Sekitar setengah jam menunggu, aku dipanggil. Beruntung tidak ada masalah dengan surat rujukan BPJSku karena tanggal yang tertera di sana adalah 23 Nopember. Aku ke loket, langsung tanpa antri. Lalu menuju poli bedah dengan nomor antrian 20. Kulihat bapak yang duduk di sebelahku memegang kertas antrian nomor 11 juga belum dipanggil.

Ketika masuk pertama kali yang kurasakan adalah keterkejutan karena mendapati dokter yang kudatangi kali ini adalah laki-laki. Sebelumnya aku memang sudah membaca jadwal dokter yang berganti antara Senin-Rabu dan Kamis-Sabtu, tapi mana aku tahu kalau dr. Nanda ternyata laki-laki. Oh, nama memang tidak bergender ya.


Alhamdulillah, ternyata dr. Nanda juga sama ramahnya dengan dr. Priha. Sama-sama tidak pelit informasi juga, aku pun bisa banyak bertanya. Inti dari konsultasi dengan dr. Nanda, dia menyarankan aku untuk segera operasi agar jenis penyakitku dapat diketahui dengan tepat dan cepat. Seperti yang kubaca di internet, metode wait and see bukan cara yang tepat untuk menindaklanjuti gejala kanker seperti benjolan di leher ini.

Aku pun bertanya bagaimana prosedur dan proses operasi. Ternyata harus nginap setidaknya semalam meskipun secara teknis kalau operasi mengambil benjolam seperti punyaku tidak akan memakan waktu lama dan bias selesai tanpa menginap. Namun, untuk pasien anggota BPJS sepertiku disarankan menginap. Karena kalau tidak menginap, fee yang didapat pihak rumah sakit sangat kecil jauh di bawah harga pisau bedah, canda si dokter.

Dr. Nanda pun menjelaskan tanpa kutanya tentang biopsi aspirasi jarum halus. Aku langsung bersemangat dan bertanya apakah di sini bisa melakukan biopsi tersebut. Ternyata belum bisa, jadi kalau mau aku harus ke rumah sakit di ibukota kab tetangga. Atau ke klinik dr. Barliana ahli patologi yang juga berpraktik di kota yang sama. Aku mendengarkan sambil berpikir. Dr. Nanda pun bertanya apa yang ingin kupilih.

Akhirnya aku berkata bikinkan saja surat rujukan ke Dokter Barliana karena mengingat kalau ke rumah sakit kota sebelah harus di hari dan jam kerja meski biaya ditanggung BPJS. Sedangkan kalau melakukan biopsi di klinik menggunakan biaya sendiri, tapi waktunya lebih fleksibel yaitu sore hari hingga malam. Setelah diberi surat rujukan dan nomor HP dr. Barliana aku sms beliau untuk mengetahui hari dan jam buka kliniknya. Dibalas beliau Senin-Jumat jam 5-8 malam. Setelah itu kutanyakan lagi informasi biaya untuk biopsi aspirasi jarum halus. Sayangnya sms tersebut pending hingga keesokan harinya.

Oya, saat konsultasi dengan dr. Nanda aku bertanya apakah penyakitku ini adalah scrofula. Ia tak dapat memastikan, tapi yang ia tahu scrofula bukanlah TB Kelenjar tapi TB Kulit. Entahlah mana yang benar. Semoga dengan biopsi nanti kejelasan jenis infeksinya langsung ketahuan dan dapat diobati dengan tepat.

Sore hari besoknya, berbekal alamat yang diberikan oleh dr. Nanda dan informasi jam buka klinik. Aku bersama suami ke sana. Kliniknya bisa ditemui dengan mudah karena berada di pinggir jalan raya, klinik Ahla Assyifa. Dari resepsionis klinik, aku mendapat informasi bahwa dr. Barliana baru saja pergi ke luar kota dan hari Senin baru praktik lagi. Aih pantas saja smsku pending. Kemudian  kutanyakan tentang biopsi aspirasi jarum halus dan biayanya. Sekitar 365 ribu katanya. Syukurlah, seruku dalam hati. Karena dari yang kudapat di internet biaya biopsi aspirasi jarum halus ada yang sampai 1 juta.


Setelah bertukar nomor hp dengan resepsionisnya, kami pun pamit. Aku akan ke sana lagi jika si resepsionis menghubungi. Doakan ya proses biopsinya nanti lancar. Aamiin.

Baca cerita selanjutnya di Pengobatan Benjolan Leher (3)
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar